Sejarah
Sejarah SMPIT Al Ghifari Kulonprogo
Jalan hidup manusia tak ada yang tahu. Kutipan itu cocok disematkan kepada Sandiman Nur Hadi Widodo, mantan perampok yang akhirnya hijrah dan mendirikan Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Ghifari di Lendah, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
Sandiman lahir di Desa Sidorejo, Kapanewon Lendah, Kulon Progo, 58 tahun silam. Masa muda bapak dua anak dan empat cucu itu dihabiskan dengan berjudi, main wanita hingga melakukan pelbagai tindak kriminal. Ia bahkan pernah dijuluki perampok spesialis emas, karena bersama komplotannya tidak pernah gagal melancarkan aksi kejahatan tersebut.
Namun, sepandai-pandainya tupai meloncat pasti jatuh juga. Sandiman Cs yang berhasil menggasak logam mulia seberat tujuh kilogram dari sebuah toko emas di wilayah Kota Yogyakarta pada tahun 1995 berujung antiklimaks. Polisi mencium pelaku merupakan kelompok Sandiman, satu per satu perampokpun akhirnya diringkus.
Sandiman yang sempat buron ke luar jawa menjadi yang terakhir ditangkap. Ia dibekuk di Riau, tak lama setelah aksinya terbongkar. Divonis empat tahun penjara, Sandiman jadi pesakitan di Lapas Wirogunan, Yogyakarta sejak 1995, tetapi masa hukumannya dipangkas jadi tiga tahun karena mendapatkan remisi.
Pada 1998, Sandiman kembali menghirup udara bebas.
Kehidupan di hotel prodeo mengubah jalan hidup Sandiman. Di sana, Sandiman yang ketika itu berusia 32 tahun mulai mendalami Islam. Sejumlah warga binaan di lapas tersebut mengajarinya salat dan membaca Al-Qur’an.
“Sewaktu saya masuk itu (Lapas Wirogunan) belum bisa salat apalagi ngaji, dan kebetulan di sana ada sesama napi yang ngajarin dan ada ustaznya juga,” ucap Sandiman saat ditemui di Ponpes Al-Ghifari, Minggu (18/4/2021).
Perlahan tapi pasti, Sandiman bertransformasi menjadi sosok baru. Pria yang dulu dikenal garang dan ditakuti itu berubah jadi pribadi yang bersahaja nan religius.
Selepas bebas, ilmu agama yang diperolehnya selama mendekam di jeruji besi coba ditularkan Sandiman kepada warga di tempat kelahirannya. “Awalnya kita kumpulkan aja anak-anak di sekitar sini untuk dilatih ngaji dan belajar salat, karena waktu saya merintis itu masih banyak anak-anak yang jarang salat,” ungkapya.
Tanah Warisan untuk Pembangunan Ponpes
Upaya Sandiman mengajari warga di Desa Sidorejo, Lendah tentang agama Islam kian kuat. Ia pun membangun masjid, panti asuhan dan pondok pesantren yang selain ditujukan sebagai tempat ibadah juga sekaligus wahana belajar agama Islam.
Diberi nama Al-Ghifari, pembangunan kompleks seluas 2.400 meter persegi itu berlangsung sejak tahun 1999 dan rampung serta bisa digunakan setahun kemudian. Adapun lahan yang digunakan adalah tanah warisan milik orang tua Sandiman.
“Jadi ini merupakan tanah warisan dari bapak saya, terus diberikan kepada saya dan kakak serta adik saya. Kita sepakat tanah ini diwakafkan untuk pembangunan ponpes,” ujar Sandiman.
Sejak pertama beroperasi hingga saat ini Ponpes Al Ghifari mengalami perkembangan yang pesat. Di bawah naungan Yayasan Al-Ghifari pondok ini juga membuka sekolah setingkat SD-SMA yang mengusung pembelajaran berkonsep Islam Terpadu (IT).
"Perkembangan ini tak lepas dari banyaknya donatur dan tentu karena bantuan Allah SWT," ujar Sandiman.
Tercatat saat ini ada 87 santri boarding dan full day, yang rata-rata berasal dari sekitar DIY, sebagian lagi dari Sumatera hingga Papua. Para santri diajar oleh delapan guru termasuk Sandiman. Seluruh santri di ponpes ini belajar tanpa dipungut biaya. Biaya sekolah para santri menjadi tanggung jawab Sandiman.
Selain sekolah dan mengaji, santri di Ponpes Al-Ghifari diajarkan ilmu berwirausaha. Mereka diajak untuk mengolah tanaman dan berternak. Namun Sadiman menekankan yang jadi fokus tetap pendidikan formal santri demi masa depan mereka.
“Saya fokusnya ke pendidikan ya, karena berkaca dari masa lalu saya bahwa orang itu gampang terkena pengaruh (buruk) karena bodoh, sehingga saya tekankan anak-anak harus pintar, makannya saya sampai bikin tingkat SMA nya biar anak-anak punya ijazah SMA agar tidak tertinggal dengan anak-anak dari sekolah lain,” ucapnya.
Salah seorang santri Ponpes Al-Ghifari, Agustiawati (17), mengaku nyaman belajar di pondok ini. Ia merasa bisa benar-benar memahami agama Islam yang diajarkan oleh para pendidik. “Alhamdulillah saya juga jadi lebih berprestasi,” ungkapnya.
Dara asal Lendah itu mengaku sudah tahu latar belakang Sandiman, pendiri Ponpes Al-Ghifari. Meski demikian ia tak mempersoalkan hal itu. Ia justru merasa termotivasi dengan kisah hidup gurunya tersebut, yang bisa berubah ke jalan yang benar dan menjadi suri tauladan bagi para santri.
“Pak Kiai (Sandiman) adalah sosok yang ramah dan selalu membantu kami yang kesulitan. Kadang kalau ada santri yang lagi tidak punya uang nanti dikasih, kadang juga diberikan baju secara cuma-cuma,” ujar.
Guru
Daftar Guru
Tata Usaha
Tri Winarni, S.M
Guru IPA
Faqih Achmad Chalwani, S.Pd
Guru Bahasa